Asistol
Seorang pasien wanita dari bangsal interna
naik ke ICCU (Intensive Cardiovascular Care Unit) kira-kira pukul 11 siang. Ia
didiagnosa dengan CHF (Congestive Heart Failure) F.C IV
Kondisinya lemah sekali.
Sejak kali pertama memeriksa dan memantau vital sign beliau,
saya ngomong sendiri di dalam hati “Oh Rabbi..another CPR?”
Astaghfirullah...cepat-cepat saya menghapus fikiran-fikiran
tersebut.
Saat saya akan memasang sphygmomanometer, teraba lengan ibu
tersebut dingin sekali. Edema (bengkak) di kaki, blood pressure yang hipotensi,
heart rate takikardi dan pernapasan yang cepat dan dalam. Yup, pernapasan
kusmaull. Setelah melihat medical record beliau, ternyata ada riwayat DM dan CKD.
“Bang..ibu ini sepertinya sepsis dan shock cardiogenik ya”.
Pertanyaan retoris ku ke dr. K, ppds cardiology.
“iya..makanya dinaikkin ke ICCU. Khusus pasien ini kamu folket
(follow ketat a.k.a dipantau) per 15 menit ya. Obatnya udh abang masukin kok tadi.”
“iya bang”.
Ding..ding..dong
Ding..ding..dong
Suara dari alat-alat yang ada di ruangan intensive ini
memecah rasa kantuk yang bergelayut di mata. Apalagi ruangan ini ber-AC. Hanya
ada saya, dr. K, perawat dan beberapa orang pasien. Keluarga pasien tidak
diizinkan masuk selain jam berkunjung. Dr. K yang sebagai ppds pun tak lupa
melapor pada supervisor.
Lalu entah folket yang ke-tiga atau ke-empat saya merasa ada
yang tidak beres dengan tampilan di layar monitor tersebut. Angka SPO2 tertulis
57% (kalau tidak salah). Memang sejak awal pasien ini sudah sesak dan sudah
diberi O2 nasal kanul. Saya melepaskan detector dari jari pasien tsb dan
memasangkannya ke jari saya sendiri. Angka nya berubah jadi 100%. Waahh...
“bang..saturasi oksigennya nih bang, udah 57. TD nya juga ga
naik-naik drtd.”
Dr. K pun segera kembali menyambangi ibu itu. “Dek, ganti
pake sungkup dek..Kak naikkan dosis syringe pump nya.” Ucap beliau pada ku dan
pada kakak perawat senior.
Kami sibuk dengan tugas masing-masing. Dr. K pun memencet
touch screen monitor yang berada di samping pasien tersebut, menge-check TD ibu
itu secara otomatis, walaupun beberapa menit sebelumnya saya juga sudah periksa
secara manual.
Folket..folket..and folket again..
Di sela-sela folket saya sempat bilang..”Buk, istighfar ya
buk”
Dan ibu itu tidak menjawab, masih sesak..bahkan untuk
berbicara.
Dan...saat pukul 16.00 WIB dengan posisi dr. K tepat berada
di samping beliau..ASISTOL (gambaran garis lurus. Dengan bunyi tiiiiiiiiiitttt)
Tanpa BA BI BU dr. K langsung melakukan RJP (Resusitasi
Jantung Paru a.k.a pijat jantung).
Dengan sigap perawat memanggil keluarga di luar setelah
sebelumnya mendapat izin dari dr. K.
Sesuai protap algoritme henti jantung, pasien telah dipasang
akses IV dan di injeksi Epinefrin.
Saya yang memegang ambu bag untuk memberikan napas buatan
rasanya ingin saja melepaskan itu dan menalqinkan pasien dengan kalimat ilahi.
Tapi harus tetap profesional dan berusaha yang terbaik bukan?
Keluarga menyaksikan tindakan di belakang sambil
menangis..bahkan anak beliau sampai teriak-teriak. Sungguh menyayat hati.
Untuk beberapa puluh menit kemudian nadi pasien muncul
kembali di layar monitor.
“Bang..nadi nya kembali”
“iya, itu karena efek epinefrin yang barusan di injeksi dek.
Coba mana pen light kamu”
Oh my..pupil sebelah kiri pasien sudah dilatasi, tapi belum
maksimal.
Kami melanjutkan RJP hingga 30 menit lamanya..dengan total
injeksi 4 atau 5 ampul. Sudah lupa.
Hingga nadi yang tadi seolah-olah kembali, mulai turun dan
hilang lagi. Kembali memeriksa pupil dan sudah dilatasi maksimal dua-duanya.
Refleks kornea juga sudah negatif.
Dr. K berjalan ke arah keluarga..menyampaikan kabar jika ibu
mereka telah tiada.
Innalillahiwainnailaihirajiuun.
Setiap melihat situasi seperti ini rasanya aku ingin
mengambil kursi dan duduk disampingnya sambil menalqinkan kalimat-kalimat
terbaik.
Tapi..tidak mungkin kan? Profesi ku memaksa aku untuk
berjuang hingga titik darah penghabisan.
Sempat ingin bilang..”bang, kita biarin keluarga nya 1 orang
disampingnya buat nemenin bacain apa gitu..boleh bang?”
Tapi ku urungkan. Mana bisa kami RJP kalau ada orang lain
disamping. Toh..memang harus kami yang disampingnya.
Kematian..suatu hal yang sangat horor bagiku sejak dulu.
Jangankan untuk menutupkan mata dan mengatupkan mulutnya, melihat keranda mayit
dari jauh saja sudah merinding.
Kini aku harus menyaksikan bagaimana malaikat maut berada di
sampingku dan seolah aku pun harus bertarung melawannya..siapa yang akan
menang..walaupun aku tau aku tak akan pernah bisa menang melawannya.
Comments
Post a Comment