Ice Berg Phenomenon
Siang tadi saya membaca salah satu artikel di Koran.
Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik untuk fokus membaca dengan seksama terhadap berita tersebut:
1. Kota Padang
2. HIV/AIDS
3. Gelar doktor
Siapa sangka ternyata Sumatera Barat peringkat ke-14 prevalensi HIV/AIDS, dimana Kota Padang menduduki peringkat ke-2 setelah Kota Bukittinggi.
I was like, OH MY GOD!
Saya pikir nuansa islami kental ranah minang dengan "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" ini benar-benar menghujam di tiap-tiap denyut kehidupan rakyat minang, sehingga hal-hal semacam ini bukan lagi fokus utama dinas kesehatan atau para praktisi kesehatan terhadap tindakan preventif dan promosi kesehatan masyarakat.
Yang kedua, apakah memang benar bahwa terjadi PENINGKATAN kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun ATAU memang dari dulu SUDAH TINGGI juga namun dengan semakin majunya tingkat penelitian (berdampak pada uji skrinning), kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan informasi-teknologi yang bebas dan terbuka, menyebabkan kasus HIV/AIDS yang selama ini tersembunyi bagai ice berg phenomenon (fenomena gunung es) muncul ke permukaan seolah-olah seperti raksasa lapar yang siap menelan siapa saja yang dijumpainya.
Ok. Anggap lah bukan seperti itu.
Tetapi memang benar terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun.
Hmm..apakah masyarakat masa kini masih kekurangan informasi terkait penyakit mematikan ini?
Saya rasa tidak.
Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?
Bukankah mereka cukup pintar untuk memilah-milah faktor apa yang bisa mereka hindari?
Tattoo? Free Sex? Narkoba?
Saya rasa sejak SMP-SMA kita sudah kenyang "dicekoki" penyuluhan, seminar, ceramah yang berkaitan dengan hal tersebut.
Entahlah bila daerah mu sangat terisolir sehingga kekurangan informasi, atau tidak ada biaya lebih untuk menggunakan jasa tattoo steril yang tiap pelanggan menggunakan jarum baru, atau kamu terlampau gaul dan setia kawan sehingga bergantian jarum suntik saat pesta narkoba, atau nafsu mu sudah di ubun-ubun sehingga lupa menggunakan kondom saat berhubungan dengan PSK, selingkuhan atau pasangan LGBT mu.
OH COME ON!
Banyak cara untuk bersenang-senang tanpa harus menyakiti diri sendiri. (Yah..pengecualian kalau kamu masih takut mati dan mikir akhirat ya)
Coba jalan-jalan ke RS dan lihat bagaimana menderita dan menyesalnya pasien-pasien terminal penyakit HIV/AIDS.
Siapa orang pertama yg paling sakit? Keluarga. Terutama orang tua.
Lalu siapa lagi? Suami/istri.
Saya pernah menjumpai ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yang masih sangat muda. Istri nya pun masih muda. Mereka baru memiliki anak 1. Setelah sang suami meninggal, sang istri baru berani memeriksakan dirinya ke VCT. Dan hasilnya positif.
Bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi janda di usia muda, dengan positif HIV/AIDS, bersama anak kecil yang dicurigai pasti terkena HIV/AIDS pula?
(Kecuali dari dulu sudah terdeteksi, bisa dilakukan tindakan SC untuk meminimalisir penularan dari ibu ke anak).
Saat saya tanya ke istri pasien (saat itu suaminya msh hidup dan ia menemani di RS). Dengan datar ia berkata, "saya juga ga tau dok. Beliau yatim-piatu. Cuma saya satu2nya keluarganya. Kami pacaran cuma sebentar setelah itu menikah. Saya juga ga nyangka bakal seperti ini".
Penyesalan.
Terserah bila hanya merugikan diri sendiri. Tapi kalau sampai merugikan orang yang disayang?
Yang ketiga, saya baru sadar ternyata narasumber berita tersebut adalah istri dari dosen anestesi saya sewaktu masih kuliah. dr. Emilzon Taslim, Sp.An
Dosen baik hati dan easy going. Ilmu yang diajarkan masih teringat hingga sekarang. Alhamdulillah.
Salut dengan beliau yang bisa mensupport istri nya hingga meraih gelar doktor.
Saya yakin pasti tidak mudah bagi seorang suami (apalagi seorang anestesi yg super sibuk di rs dan juga dosen di fakultas) untuk merelakan istrinya meluangkan waktu lebih banyak di laboratorium dan lapangan demi merampungkan penelitiannya daripada di rumah mengurusi keperluan rumah tangga.
Oke. Mungkin di rumah pun ada ART yang bisa membantu. Tapi tetap saja kan rumah sepi kalau mama belum pulang?
Ah..saya sungguh nge-fans dengan pria-pria seperti ini.
Semoga Ilmu nya berkah ya, dok!
Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik untuk fokus membaca dengan seksama terhadap berita tersebut:
1. Kota Padang
2. HIV/AIDS
3. Gelar doktor
Siapa sangka ternyata Sumatera Barat peringkat ke-14 prevalensi HIV/AIDS, dimana Kota Padang menduduki peringkat ke-2 setelah Kota Bukittinggi.
I was like, OH MY GOD!
Saya pikir nuansa islami kental ranah minang dengan "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" ini benar-benar menghujam di tiap-tiap denyut kehidupan rakyat minang, sehingga hal-hal semacam ini bukan lagi fokus utama dinas kesehatan atau para praktisi kesehatan terhadap tindakan preventif dan promosi kesehatan masyarakat.
Yang kedua, apakah memang benar bahwa terjadi PENINGKATAN kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun ATAU memang dari dulu SUDAH TINGGI juga namun dengan semakin majunya tingkat penelitian (berdampak pada uji skrinning), kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan informasi-teknologi yang bebas dan terbuka, menyebabkan kasus HIV/AIDS yang selama ini tersembunyi bagai ice berg phenomenon (fenomena gunung es) muncul ke permukaan seolah-olah seperti raksasa lapar yang siap menelan siapa saja yang dijumpainya.
Ok. Anggap lah bukan seperti itu.
Tetapi memang benar terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun.
Hmm..apakah masyarakat masa kini masih kekurangan informasi terkait penyakit mematikan ini?
Saya rasa tidak.
Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?
Bukankah mereka cukup pintar untuk memilah-milah faktor apa yang bisa mereka hindari?
Tattoo? Free Sex? Narkoba?
Saya rasa sejak SMP-SMA kita sudah kenyang "dicekoki" penyuluhan, seminar, ceramah yang berkaitan dengan hal tersebut.
Entahlah bila daerah mu sangat terisolir sehingga kekurangan informasi, atau tidak ada biaya lebih untuk menggunakan jasa tattoo steril yang tiap pelanggan menggunakan jarum baru, atau kamu terlampau gaul dan setia kawan sehingga bergantian jarum suntik saat pesta narkoba, atau nafsu mu sudah di ubun-ubun sehingga lupa menggunakan kondom saat berhubungan dengan PSK, selingkuhan atau pasangan LGBT mu.
OH COME ON!
Banyak cara untuk bersenang-senang tanpa harus menyakiti diri sendiri. (Yah..pengecualian kalau kamu masih takut mati dan mikir akhirat ya)
Coba jalan-jalan ke RS dan lihat bagaimana menderita dan menyesalnya pasien-pasien terminal penyakit HIV/AIDS.
Siapa orang pertama yg paling sakit? Keluarga. Terutama orang tua.
Lalu siapa lagi? Suami/istri.
Saya pernah menjumpai ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yang masih sangat muda. Istri nya pun masih muda. Mereka baru memiliki anak 1. Setelah sang suami meninggal, sang istri baru berani memeriksakan dirinya ke VCT. Dan hasilnya positif.
Bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi janda di usia muda, dengan positif HIV/AIDS, bersama anak kecil yang dicurigai pasti terkena HIV/AIDS pula?
(Kecuali dari dulu sudah terdeteksi, bisa dilakukan tindakan SC untuk meminimalisir penularan dari ibu ke anak).
Saat saya tanya ke istri pasien (saat itu suaminya msh hidup dan ia menemani di RS). Dengan datar ia berkata, "saya juga ga tau dok. Beliau yatim-piatu. Cuma saya satu2nya keluarganya. Kami pacaran cuma sebentar setelah itu menikah. Saya juga ga nyangka bakal seperti ini".
Penyesalan.
Terserah bila hanya merugikan diri sendiri. Tapi kalau sampai merugikan orang yang disayang?
Yang ketiga, saya baru sadar ternyata narasumber berita tersebut adalah istri dari dosen anestesi saya sewaktu masih kuliah. dr. Emilzon Taslim, Sp.An
Dosen baik hati dan easy going. Ilmu yang diajarkan masih teringat hingga sekarang. Alhamdulillah.
Salut dengan beliau yang bisa mensupport istri nya hingga meraih gelar doktor.
Saya yakin pasti tidak mudah bagi seorang suami (apalagi seorang anestesi yg super sibuk di rs dan juga dosen di fakultas) untuk merelakan istrinya meluangkan waktu lebih banyak di laboratorium dan lapangan demi merampungkan penelitiannya daripada di rumah mengurusi keperluan rumah tangga.
Oke. Mungkin di rumah pun ada ART yang bisa membantu. Tapi tetap saja kan rumah sepi kalau mama belum pulang?
Ah..saya sungguh nge-fans dengan pria-pria seperti ini.
Semoga Ilmu nya berkah ya, dok!
Comments
Post a Comment